Kamis, 31 Oktober 2013

Landasan Teknologi Pendidikan



Pembelajaran sebagai kegiatan untuk mencapai tujuan instruksional, jenis dan prosedur kegiatannya, membutuhkan rangkaian pemikiran yang cermat. Rangkaian pemikiran yang cermat itu, diperlukan agar jenis dan prosedur kegiatan yang dipilih dan ditetapkan nantinya mempunyai nilai fungsional yang tinggi sebagai alat untuk pencapaian tujuan. Terlebih lagi,faktor-faktor yang ikut terlibatkan dalam kegiatan pembelajaran sangat beranekaragam, maka kecermatan itu diperlukan, agar koherensi hubungan antar faktor tersebut, dapat sinergis dalam pencapaian tujuan. Kegiatan guru yang berkenaan dengan penelusuran, pemilihan jenis dan prosedur kegiatan serta lain-lain pendukung kegiatan pembelajaran tersebut, lazimnya disebut kegiatan pemilihan strategi pembelajaran.
Strategi pembelajaran secara substansial berwujud jenis dan prosedur kegiatan serta lain-lain yang merupakan implikasi dari jenis dan prosedur yang menyertainya. Namun, makna strategi tidak diletakkan pada jenis dan prosedur kegiatan itu sendiri, tetapi ada pada nilai strategis-fungsional, berkenaan dengan fungsinya sebagai alat dan wahana pencapaian tujuan pembelajaran. Nilai strategis-fungsional yang dimaksud, diukur atas dasar kadar keefektifan dan keefisiensinya sebagai alat untuk pencapaian tujuan pembelajaran. Jenis dan prosedur kegiatan yang tidak bernilai strategis-fungsional untuk tercapainya tujuan, maka jenis dan prosedur kegiatan tersebut tidak bermakna strategi.
Berkenaan dengan hal strategi pembelajaran, dalam tulisan ini berisi paparan tentang jenis dan prosedur kegiatan pembelajaran yang bernilai fungsional-strategis sebagai alat untuk pencapaian tujuan instruksional. Lingkup paparan diawali dari penglihatan secara rinci realita substansial kegiatan-kegiatan serta unsur-unsur yang di bangun dalam proses pembelajaran. Kupasan konseptual tentang hakekat strategi dan keterkaitannya dengan komponen lainnya diuraikan secara cermat untuk memudahkan pemahaman pembaca. Paparan dilanjutkan ke kajian tentang prinsip-prinsip dan pendekatan pembelajaran yang menjadi landasan asumsi dan paradigma dasar proses pembelajaran. Pola dan model-model bangunan proses pembelajaran dipaparkan di kajian berikutnya untuk acuan dalam penelusuran pola dan model pembelajaran yang relevan dengan karakteristik tujuan pembelajaran yang akan dicapai.
Strategi pembelajaran terdiri dari dua kata, yaitu strategi dan pembelajaran. Strategi dapat diartikan sebagai suatu garis-garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan. Dihubungkan dengan belajar mengajar, strategi juga bisa diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan guru dan anak didik dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan yang telah digariskan. Oxford (1990) menjelaskan strategi dalam hal dunia pendidikan dapat diartikan sebagai penggunaan rencana, tahapan atau aksi secara sadar yang dilakukan untuk mencapai tujuan yang objektif. Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (Sanjaya, 2007 : 126).
Dalam konsep teknologi pendidikan, dibedakan istilah pembelajaran (instruction) dan pengajaran (teaching). Pembelajaran, disebut juga kegiatan pembelajaran atau instruksional, adalah usaha mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang membentuk diri secara positif tertentu dalam kondisi tertentu. Sedangkan pengajaran adalah usaha membimbing dan mengarahkan pengalaman belajar kepada peserta didik yang biasanya berlangsung resmi/formal.
           Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dari pendapat tersebut, Dick and Carey (1985) juga menyebutkan bahwa strategi pembelajaran itu adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa (Sanjaya, 2007 : 126). Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari strateginya, pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery learning dan (2) group-individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya, 2008). Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.Strategi pembelajaran merupakan cara-cara yang berbeda untuk mencapai hasil pembelajaran yang berbeda di bawah kondisi yang berbeda (Reigeluth, 1983; Degeng, 1989; Wena, 2009 p.5).
Weda (2009) menjelaskan strategi pembelajaran berarti cara dan seni untuk menggunakan semua sumber belajar dalam upaya membelajarkan siswa. Sebagai suatu cara, strategi pembelajaran dikembangkan dengan kaidah – kaidah tertentu sehingga membentuk suatu bidang pengetahuan tersendiri. Miarso (2004:530) berpandangan bahwa strategi pembelajaran merupakan pendekatan yang menyeluruh dalam sebuah sistem pembelajaran dalam bentuk pedoman dan kerangka kegiatan untuk mencapai tujuan umum pembelajaran. Miarso menekankan bahwa strategi mencerminkan pendekatan mencapai tujuan pembelajaran.

Membangun Pendidikan Berbasis Multikultural



1.         Pendahuluan
Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan secara sadar dalam rangka mengembangkan potensi yang telah dimiliki oleh manusia kepada kondisi yang lebih baik, yang menyangkut jasmaniah dan rohaniah (Nizar, 2001:VII). Artinya, pendidikan sebagai suatu proses harus dilakukan dengan sadar dan terencana untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif agar anak secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya, memiliki kekuatan keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan. Dalam proses belajar mengajar (PBM), pendidik (guru) dan anak didik masing-masing berupaya untuk mengkomunikasikan permasalahan transfer of knowlegde dan transfer of value. Dalam hal ini seorang pendidik (guru) secara langsung akan membantu dalam pembentukan karakter dan kepercayaan diri.
Paradigma pendidikan multikultural sangat relevan diterapkan di negara-negara yang multietnis dan multibudaya, seperti Indonesia. Keragaman budaya jika dikelola dengan baik akan mampu membentuk karakter kebangsaan keindonesiaan yang kokoh. Karena itu, pendidikan multikultural sangat memiliki kontribusi dalam menyukseskan kebijakan pendidikan berbasis karakter.
Konsep inilah yang kemudian lahir kebijakan pendidikan karakter. Tujuan pendidikan karakter adalah terwujudnya nilai-nilai perilaku atau karakter warga belajar yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Insan kamil adalah insan sempurna sebagai manusia yang bermanfaat bagi diri sendiri, lingkungan masyarakat, bangsa, dan agamanya di tengah keragaman kehidupan.
Pendidikan multikultural karena itu diharapkan mampu membentuk karakter peserta didik yang dapat memosisikan diri dalam hubungannya dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan kebangsaan. Karakter inilah yang sejatinya pengokoh karakter keindonesian kita sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki identitas. Jika  karakter tersebut telah menjadi ‘keterampilan betindak’ manusia Indonesia, bangsa Indonesia akan menjadi besar karena semua problem kehidupan selalu dapat diatasi dengan kekokohan karakter kebangsaannya.
Pendidikan multikulturalisme karenanya diharapkan mampu membentuk karakter religius, inovatif, menghargai keragaman  orang lain,  toleran, rela dalam hidup, percaya diri, dan jiwa nasionalisme. Perwujudan karakter tersebut dapat dilakukan melalui praktik pembelajaran ‘karakter keindonesiaan’. Pembelajaran ini dilakukan dengan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan. Terwujudnya karakter keindonesiaan tersebut menjadi landasan kuat sebagai ciri khas manusia Indonesia yang kuat. Kekuatan keindonesiaan  ini menjadi energi besar untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa  besar di tengah percaturan bangsa-bangsa di dunia. Bangsa besar hanya dapat diwujudkan melalui karakter manusia yang kuat. Karakter keindonesiaan melalui pendidikan multikulturalisme inilah salah satu harapan menuju Indonesia besar di masa depan dengan keyakinan kolektif sebagai bangsa.
Bangsa Indonesia selalu mengikuti perkembangan di bidang pendidikan, dan saat ini sedang menghadapi dua masalah mendasar yaitu kuantitas dan kualitas pendidikan. Guna mencapai tujuan pendidikan nasional, pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya baik yang berkaitan dengan kuantitas maupun kualitas pendidikan. Untuk mengatasi masalah kuantitas pendidikan, pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan, seperti program wajib belajar sembilan tahun, program sistem belajar jarak jauh, program penghapusan SPP, program sistem orang tua asuh dan program pemberian beasiswa yang dikembangkan di berbagai tingkat pendidikan terutama  bagi  siswa yang kurang mampu ekonominya namun tinggi prestasi akademiknya, dan yang berkaitan dengan masalah kualitas pendidikan, pemerintah juga telah melaksanakan berbagai upaya, seperti melakukan perubahan kurikulum  dan  sistem  pembelajaran,  meningkat-kan   pengadaan  sarana  pembelajaran,  menetapkan  adanya sekolah plus, meningkatkan profesi  guru melalui berbagai jenis pendidikan dan latihan seperti yang dilaksanakan di tingkat sanggar (Kodya), Provinsi maupun tingkat Nasional, serta mengembangkan sistem manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS). Namun hingga saat ini kualitas produk pendidikan di Indonesia masih dirasakan tertinggal bila dibandingkan dengan negara berkembang lainnya, seperti Malaysia dan Singapura yang dulunya telah banyak belajar dengan indonesia.
Realitas yang ada konflik horisontal yang benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak studi yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearipan budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah dilabelkan hambatan-hambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat Indonesia kedepan sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar etnis.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural menjadi suatu keniscayaan, karena kondisi sosial budaya bangsa dan negara Indonesia yang sangat beragam. Indonesia merupakan negara yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar dan dengan budaya yang sangat beragam. Sekitar 200 juta penduduk yang tersebar kurang lebih dari 13.000 pulau. Wilayah Indonesia tersusun atas 33 propinsi, 440 kabupaten/kota, 5.263 kecamatan, serta 62.806 desa. Terdapat puluhan suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda, dan lebih dari 660 bahasa daerah yang digunakan oleh penduduk Indonesia. Sejumlah 293.419 satuan pendidikan (SD/MI, SMP/MTs,SMA/MA) di Indonesia tersebar di berbagai wilayah, total 51,3 juta siswa dan 3,31 juta guru.
Disadari bahwa untuk membangun bangsa dengan beragam adat dan budaya yang tersebar di wilayah yang sangat luas dan terpencar, diperlukan suatu strategi dan upaya yang sistematis untuk melakukannya. Untuk itu, Pemerintah telah menetapkan tujuan pembangunan pendidikan nasional jangka menengah, yang diantaranya adalah meningkatkan pemerataan kesempatan belajar pada semua jalur, jenis, dan jenjang pendidikan bagi semua warga negara secara adil, tidak diskriminatif, dan demokratis tanpa membedakan tempat tinggal, status sosial-ekonomi, jenis kelamin, agama, kelompok etnis, dan kelainan fisik, emosi, mental serta intelektual; menurunkan secara signifikan jumlah penduduk buta aksara; memperluas akses pendidikan nonformal bagi penduduk laki-laki maupun perempuan yang belum sekolah, tidak pernah sekolah, buta aksara, putus sekolah dalam dan antar jenjang serta penduduk lainnya yang ingin meningkatkan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan
Pertimbangan-pertimbangan itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek pendidikan di Indonesia salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan pembelajaran mutikultural para lulusan akan dapat memiliki sikap kemandirian dalam menyadari dan menyelesaikan segala problem kehidupannya, melalui berbagai macam cara dan strategi pendidikan serta mengimplementasikanya yang mempunyai visi dan misi yang selalu menegakan dan menghargai pluralisme, demokrasi dan humanisme. Diharapkan para generasi penerus menjadi ”Generasi Multikultural” yang menghargai perbedaan, selalu menegakan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kemanusiaan yang akan datang.
Dalam konteks pendidikan, bahwa semua persoalan dalam masyarakat akan dapat diperbaiki melalui proses pendidikan. Artinya kegagalan masyarakat adalah kegagalan pendidikan dan sebaliknya. Dengan demikian, dalam mengatasi segala problematika masyarakat sebaiknya dimulai dari penataan secara sistemik dan metodologis dalam pendidikan. Salah satu komponen dalam pembelajaran adalah proses belajar mengajar (pembelajaran). Untuk memperbaiki realitas masyarakat, perlu dimulai dari proses pembelajaran. Multikultural bisa dibentuk melalui proses pembelajaran, yaitu dengan menggunakan pembelajaran berbasis multikultural. Yaitu proses pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya menghargai perbedaan diantara sesama manusia sehingga terwujud ketenangan dan ketentraman tatanan kehidupan masyarakat.
Pendidikan multikultural dilaporkan juga sangat efektif sebagai alat pengakomodasi dominasi kekuasaan salah satu etnik atau budaya. Mereka lebih menyukai proses akulturasi ganda (multiple acculturation) ketimbang pluralisme budaya (cultural pluralism), karena dengan proses akulturasi demikian maka konflik antar etnik dapat diperkecil. Tujuan pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi: (1) untuk memfungsikan peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) untuk membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan siswa dengan cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; (4) untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok.

2.    Signifikansi Pendidikan Multikultural
Mengingat bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak budaya, penerapan pembelajaran multikultural sangat penting untuk meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Pembelajaran multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
Rasional tentang pentingnya pembelajaran/pendidikan multikultural, karena startegi pendidikan ini dipandang memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam:
1).    Memberikan terobosan baru pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara) antarbudaya yang mampu menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan (nonviolent);
2).    Menerapkan pendekatan dan strategi pembelajaran yang potensial dalam mengedepankan proses interaksi sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat;
3).    Model pembelajaran multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan masyarakat yang serba majemuk;
4).    Memberikan kontribusi bagi bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang bernuansa SARA yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan mengurangi prasangka.
Melalui pembelajaran berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Hal ini penting sebab dapat menghapuskan diskriminasi.

Ada beberapa hal yang bisa didapat dari adanya pembelajaran multikultural, antara lain:
a)      Penerapan pendidikan multikultural sangat penting untuk meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
b)      Metodologi dan strategi pembelajaran multikultural dengan menggunakan sarana audio visual telah cukup menarik minat belajar anak serta sangat menyenangkan bagi siswa dan guru. Karena, siswa secara sekaligus dapat mendengar, melihat, dan melakukan praktik selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini menjelaskan bahwa pembelajaran multikultural sangat baik untuk diterapkan dalam rangka meningkatkan minat belajar siswa yang lebih tinggi.
c)      Guru-guru dituntut kreatif dan inovatif sehingga mampu mengolah dan menciptakan desain pembelajaran yang sesuai. Termasuk memberikan dan membangkitkan motivasi belajar siswa, serta memperkenalkan dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter kepada sesama. Para siswa pun bisa menjadi lebih memahami kearifan lokal yang menjadi bagian dari budaya bangsa.
d)   Pendidikan multikultural membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan budaya yang beragam, membantu siswa dalam
e)      mengembangkan kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage & Armstrong, 1996).
f)       Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994).
g)      Dapat membimbing, membentuk dan mengkondisikan siswa agar memiliki mental atau karakteristik terbiasa hidup di tengah-tengah perbedaan yang sangat kompleks, baik perbedaan ideologi, perbedaan sosial, perbedaan ekonomi dan perbedaan agama. Dengan pembelajaran mutikultural para lulusan akan dapat memiliki sikap kemandirian dalam menyadari dan menyelesaikan segala problem kehidupannya.

3.    Beberapa keuntungan Pendidikan Multikultural
Pendidikan Multikultural merupakan sebuah proses dimana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem standard untuk mempersepsi, meyakini, dan melakukan tindakan. Beberapa keuntungan dengan pendekatan pendidikan multicultural adalah:
Pertama, kita tidak lagi terbatas dengan pandangan yang menyamakan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling) atau pendidikan multicultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudaayan akan membebaskan pendidikan dari asumsi mereka bahwa tanggungjawab primer mengembangkan kompetensi kebudayaan dikalangan anak didik semata-mata berada ditangan mereka, melainkan tanggungjawab semua pihak karena program-program sekolah seharusnya terkait dengan pembelajaran informal dan luar sekolah.
Kedua, kita tidak lagi terbatas pada pandangan yang menyamakan kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, kita tidak perlu mengasosiasikan kebudayaan semata­mata dengan kelompok-kelompok etnik. Secara tradisional, para pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial yang relatif self sufficient. Oleh karena individu-individu atau peserta didk memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam berbagai dialek atau bahasa, dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi dimana setiap pemahaman tersebut sesuai, maka individu-individu memilki berbagai tingkat kompetensi dalam sejumlah kebudayaan. Dalam konteks pendidikan multicultural, apabila pendekatan ini dipahami dan diadopsi oleh para penyusun program-program pendidikan multicultural, akan melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara stereotype menurut identitas etnik mereka akan meningkatkan eksplorasi pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan dikalangan anak didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga, karena pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan interaksi intensif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, kita bahkan dapat melihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multicultural. Mempertahankan dan memperluas solidaritas kelompok etnik adalah menghambat sosialisasi ke dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan multicultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat, pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan. Kebudayaan mana yang akan diadopsi seseorang pada suatu waktu ditentukan oleh situasinya. Meski jelas berkaitan, kita harus membedakan secara konseptual antara identitas-identitas yang disandang individu dan identitas sosial primer dalam kelompok etnik tertentu.
Kelima, kemungkinan bahwa pendidikan (baik di sekolah maupun di luar sekolah) meningkatkan kesadaran mengenai kompetensi dalam beberapa kebudayaan akan menjauhkan kita dar konsep dwi-budaya (bicultural) atau dikotomi antara pribumi dan non-pribumi. Karena dikotomi semacam ini bersifat membatasi kebebasan individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas (perbedaan) kebudayan.
Pendidikan multikultural bertujuan untuk membedah kesadaran individu akan “multikulturalisme sebagai pengalaman normal manusia”. Kesadaran ini mengandung potensi pendidikan multikultural untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui kompetensi kebudayaan yang ada pada anak didik.

4.    Pendidikan Multikultural
Tahun 1980-an agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif. James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan. Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi. Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai “pendidikann untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan cultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. Agar definisi ini bermanfaat, perlu mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan “budaya” dan “kebudayaan”. Upaya perumusan ini jelas tidak mudah, karena perubahan-perubahan yang begitu cepat dan dramatis dalam kebudayaan itu sendiri, khususnya karena proses globalisasi yang semakin meningkat.
Menurut Tilaar, pendidikan multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “inter-kulturalisme” seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini selain terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Mempertimbangkan semua perkembangan ini, pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an di Amerika Serikat berkembang konsep pendidikan “intercultural” dan “interkelompok” (intercultural and intergroup education). Pada dasarnya pendidikan interkultural merupakan cross-cultural education yang bertujuan mengembangkan nilai­nilai universal yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda. UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua, pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan penyelesaian­penyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan.
Karena itu, pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan memelihara. Konsep pendidikan multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS, khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya, penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya kecenderungan primordialisme. Untuk itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik, pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan untuk kebaikan bersama.
Pendidikan multikultural (multicultural education) adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Jika kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi sering kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan, terjadinya konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bahkan buntutnya masih terasa hingga sekarang, baik yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam dan Papua. Tanpa pendidikan multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa. Pendidikan multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) pelajar/mahasiswa akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
Dengan pengembangan model pendidikan berbasis multicultural, diharapkan mampu menjadi salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan. Tak hanya itu, pendidikan multikultural juga mencakup revisi materi-materi dan sistem pembelajaran, seleksi penerimaan siswa, rekrutmen guru, termasuk revisi buku-buku dan teks-teks soal Ujian Nasional (UN). Halaman 192. Misalnya, pelaksanaan UN selama ini terus menjadi perdebatan dan menimbulkan pro-kontra, sejak keluarnya SK No 153/U/2003 tentang UAN. Mulai teknis pelaksanaan hingga keputusan pemerintah tentang pelulusan terhadap siswa. Secara yuridis, pelanggaran terhadap UU No. 20 tahun 2003. Pada pasal 58 ayat (1), misalnya, semestinya UAN menjadi tolok ukur, kontrol, alat evaluasi tingkat kemampuan peserta didik dan penyerapan terhadap materi. UU lahir, oleh pemerintah malah dibelokkan menjadi alat untuk menentukan tingkat kelulusan siswa. Secara tidak langsung pemerintah masih berkeinginan menyeratakan dan tidak mendukung adanya paradigma atau pijakan pendidikan multikultural.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan multikultural menemukan momentumnya ketika rezim pemerintahan Soeharto yang otoritarian tumbang. Di masa awal reformasi, berbagai konflik antar etnik dan golongan menciptakan kejutan dan kengerian masyarakat, secara umum. Konflik berdarah di Poso, Sampit, hingga Papua merupakan catatan buram sejarah Indonesia. Hal ini membuat kalangan intelektual pendidikan di Indonesia mempertanyakan kembali sistem pendidikan nasional bagi Indonesia Perlukah ada perubahan? Atau sistem pendidikan yang bagaimana yang bisa meminimalisasi potensi konflik.
Parsudi Suparlan (2001) mengatakan bahwa multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan zaman karena multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaaan kultur, atau sebuah keyakinan yang mengakui pluralisme kultur sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi jembatan yang mengakomodasi perbedaan etnik dan budaya dalam masyarakat yang plural. Perbedaan itu dapat terakomodasi dalam berbagai dimensi kehidupan, seperti dunia kerja, pasar, hukum, ekonomi, sosial, dan politik.

5.    Kurikulum Pendidikan Multikultural
Agar pendidikan lebih multikultural, maka kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan peran guru harus dibuat multikultural. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai lain. Suasana sekolah amat penting dalam penanaman nilai multibudaya. Sekolah harus dibangun dengan suasana yang menunjang penghargaan budaya lain. Relasi guru, karyawan, siswa yang berbeda budaya diatur dengan baik, ada saling penghargaan. Anak dari kelompok lain tidak ditolak tetapi dihargai.
Kegiatan ekstrakurikuler hendaknya juga multinilai. Sikap menghargai orang yang berbeda dari budaya lain akan lebih berkembang bila siswa mempraktikkan dan mengalami sendiri. Maka, model live-in, tinggal di tengah orang yang berbudaya lain, amat dapat membantu siswa menghargai "budaya lain". Misalnya siswa dari Bali ikut live-in satu minggu di tengah orang Sunda. Bila mereka mengalami bahwa di situ diterima dengan baik, mereka akan dibantu lebih penghargai budaya Sunda. Proyek dan kepanitiaan di sekolah baik juga diatur dengan lebih variasi dan beragam. Setiap panitia terdiri dari aneka macam siswa dari berbagai suku, ras, agama, budaya, dan jender. Ini akan lebih menumbuhkan semangat kesatuan dalam perbedaan yang ada.
Kurikulum yang diperlukan dalam pendidikan multicultural mempunyai tiga komponen utama; yaitu isi, metode, dan manusia. Isi mencakup ilmu pengetahuan, teori, konsep, fakta, kontribusi, dan perspektif dari kelompok yang berbeda suku, etnisitas, gender, bahasa, kelas sosial, agama, orientasi seksual, cacat dan tidak cacat, kepercayaan politik dan sebagainya yang secara historis tidak terpresentasikan dalam ranah pendidikan. Metode, mencakup strategi pembelajaran yang mengakomodasi gaya pengajaran dan pembelajaran yang berbeda, kebijakan-kebijakan akademik yang mendukung rekrutmen, mentoring, memori siswa multikultural, pengajar, populasi staff, dan proses kurikulum yang mendorong eksplorasi, pengembangan, dan implementasi kurikulum multikultural. Manusia, menyangkut sisiwa multikultural, pengajar, dan populasi staff yang mendukung dan mengembangkan implementasi kurikulum multikultural melalui metode yang telah digunakan. Walaupun begitu, perumusan dan implementasi pendidikan multikultural di Indonesia masih memerlukan pembahasan serius dan khusus. Hal ini bukan hanya karena menyangkut masalah isi pendidikan multikultural itu sendiri, tetapi juga mengenai strategi yang akan ditempuh; apakah misalnya dalam bentuk mata pelajaran terpisah, berdiri sendiri (separated), atau sebaliknya “terpadu” atau terintegrasi (integrated). Terlepas dari berbagai isu dan masalah ini, yang jelas perkembangan Indonesia sekarang kelihatannya membutuhkan pendidikan multikultural, yang diharapkan dapat memberikan kontribusi penting bagi pembentukan “keikaan” di tengah “kebhinnekaan” yang betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon. Termasuk juga, pengelolaan masyarakat multi-kultural Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sitematis, programatis, integrated, dan berkesinambungan. Langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal dan bahkan informal dalam masyarakat luas. BERJUANG MEMBANGUN NEGERI

6.    Daftar Pustaka
Banks,  J. 1993.  Multicultural Education: Historical Development, Dimension, and Practice. Review of Research in Education.
Burnett. 1994. Varieties of Multicultural Education: An Introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education: Digest.
Kuper, Adam & Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan Multikultural: Konsep  dan Aplikasi. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media.
Suseno, Frans Magnis. 2000. “Pendidikan Pluralisme” dalam Suara Pembaharuan.
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu Tinjauan dari Perspektif Kultural. Magelang: Indonesia Tera.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wuryanano. 2011. Mengapa Doa Saya Selalu Dikabulkan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media.