1.
Pendahuluan
Pendidikan merupakan upaya yang dilakukan secara sadar dalam rangka
mengembangkan potensi yang telah dimiliki oleh manusia kepada kondisi yang
lebih baik, yang menyangkut jasmaniah dan rohaniah (Nizar, 2001:VII). Artinya,
pendidikan sebagai suatu proses harus dilakukan dengan sadar dan terencana
untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif agar anak secara aktif dapat
mengembangkan potensi dirinya, memiliki kekuatan keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan. Dalam proses belajar
mengajar (PBM), pendidik (guru) dan anak didik masing-masing berupaya untuk
mengkomunikasikan permasalahan transfer
of knowlegde dan transfer of value.
Dalam hal ini seorang pendidik (guru) secara langsung akan membantu dalam
pembentukan karakter dan kepercayaan diri.
Paradigma pendidikan multikultural sangat relevan
diterapkan di negara-negara yang multietnis dan multibudaya, seperti Indonesia.
Keragaman budaya jika dikelola dengan baik akan mampu membentuk karakter
kebangsaan keindonesiaan yang kokoh. Karena itu, pendidikan multikultural
sangat memiliki kontribusi dalam menyukseskan kebijakan pendidikan berbasis
karakter.
Konsep inilah yang kemudian lahir kebijakan pendidikan
karakter. Tujuan pendidikan karakter adalah terwujudnya nilai-nilai perilaku
atau karakter warga belajar yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan,
dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri
sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil.
Insan kamil adalah insan sempurna sebagai manusia yang bermanfaat bagi diri
sendiri, lingkungan masyarakat, bangsa, dan agamanya di tengah keragaman
kehidupan.
Pendidikan multikultural karena itu diharapkan mampu
membentuk karakter peserta didik yang dapat memosisikan diri dalam hubungannya
dengan Tuhan, diri sendiri, orang lain, lingkungan, dan kebangsaan.
Karakter inilah yang sejatinya pengokoh karakter keindonesian kita sehingga
bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki identitas. Jika karakter tersebut telah menjadi ‘keterampilan
betindak’ manusia Indonesia, bangsa Indonesia akan menjadi besar karena semua
problem kehidupan selalu dapat diatasi dengan kekokohan karakter kebangsaannya.
Pendidikan multikulturalisme karenanya diharapkan mampu
membentuk karakter religius, inovatif, menghargai keragaman orang lain,
toleran, rela dalam hidup, percaya diri, dan jiwa nasionalisme.
Perwujudan karakter tersebut dapat dilakukan melalui praktik pembelajaran
‘karakter keindonesiaan’. Pembelajaran ini dilakukan dengan pembentukan pola pikir, sikap, tindakan, dan pembiasaan. Terwujudnya karakter
keindonesiaan tersebut menjadi landasan kuat sebagai ciri khas manusia
Indonesia yang kuat. Kekuatan keindonesiaan
ini menjadi energi besar untuk menjadi Indonesia sebagai bangsa besar di tengah percaturan bangsa-bangsa di
dunia. Bangsa besar hanya dapat diwujudkan melalui karakter manusia yang kuat.
Karakter keindonesiaan melalui pendidikan multikulturalisme inilah salah satu
harapan menuju Indonesia besar di masa depan dengan keyakinan kolektif sebagai
bangsa.
Bangsa Indonesia selalu mengikuti perkembangan di
bidang pendidikan, dan saat ini sedang menghadapi dua masalah mendasar yaitu
kuantitas dan kualitas pendidikan. Guna mencapai tujuan pendidikan nasional,
pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya baik yang berkaitan dengan kuantitas
maupun kualitas pendidikan. Untuk mengatasi masalah kuantitas pendidikan,
pemerintah telah menetapkan berbagai kebijakan, seperti program wajib belajar
sembilan tahun, program sistem belajar jarak jauh, program penghapusan SPP,
program sistem orang tua asuh dan program pemberian beasiswa yang dikembangkan
di berbagai tingkat pendidikan terutama
bagi siswa yang kurang mampu
ekonominya namun tinggi prestasi akademiknya, dan yang berkaitan dengan masalah
kualitas pendidikan, pemerintah juga telah melaksanakan berbagai upaya, seperti
melakukan perubahan kurikulum dan sistem
pembelajaran, meningkat-kan pengadaan
sarana pembelajaran, menetapkan
adanya sekolah plus, meningkatkan profesi guru melalui berbagai jenis pendidikan dan
latihan seperti yang dilaksanakan di tingkat sanggar (Kodya), Provinsi maupun
tingkat Nasional, serta mengembangkan sistem manajemen peningkatan mutu
berbasis sekolah (MPMBS). Namun hingga saat ini kualitas produk pendidikan di
Indonesia masih dirasakan tertinggal bila dibandingkan dengan negara berkembang
lainnya, seperti Malaysia dan Singapura yang dulunya telah banyak belajar dengan indonesia.
Realitas yang ada konflik horisontal yang
benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari
banyak studi yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya
pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearipan budaya. Konflik akan muncul
apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada masyarakat. Terdapat
perbedaan ras pada masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah
dilabelkan hambatan-hambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial ini
sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun kelompok ras tertentu
terhadap ras lain. Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah
masa lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam kebudayaan
kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan perkembangan masyarakat
Indonesia kedepan sangat dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar etnis.
Dalam konteks
Indonesia, pendidikan multikultural menjadi suatu keniscayaan, karena kondisi
sosial budaya bangsa dan negara Indonesia yang sangat beragam. Indonesia
merupakan negara yang sangat luas dengan jumlah penduduk yang besar dan dengan
budaya yang sangat beragam. Sekitar 200 juta penduduk yang tersebar kurang
lebih dari 13.000 pulau. Wilayah Indonesia tersusun atas 33 propinsi, 440
kabupaten/kota, 5.263 kecamatan, serta 62.806 desa. Terdapat puluhan suku
bangsa dengan adat istiadat yang berbeda, dan lebih dari 660 bahasa daerah yang
digunakan oleh penduduk Indonesia. Sejumlah 293.419 satuan pendidikan (SD/MI,
SMP/MTs,SMA/MA) di Indonesia tersebar di berbagai wilayah, total 51,3 juta
siswa dan 3,31 juta guru.
Disadari bahwa untuk membangun bangsa
dengan beragam adat dan budaya yang tersebar di wilayah yang sangat luas dan
terpencar, diperlukan suatu strategi dan upaya yang sistematis untuk
melakukannya. Untuk itu, Pemerintah telah menetapkan tujuan pembangunan pendidikan nasional jangka menengah, yang diantaranya
adalah meningkatkan pemerataan kesempatan belajar pada semua jalur, jenis, dan
jenjang pendidikan bagi semua warga negara secara adil, tidak diskriminatif,
dan demokratis tanpa membedakan tempat tinggal, status sosial-ekonomi, jenis
kelamin, agama, kelompok etnis, dan kelainan fisik, emosi, mental serta
intelektual; menurunkan secara signifikan jumlah penduduk buta aksara;
memperluas akses pendidikan nonformal bagi penduduk laki-laki maupun perempuan
yang belum sekolah, tidak pernah sekolah, buta aksara, putus sekolah dalam dan
antar jenjang serta penduduk lainnya yang ingin meningkatkan pengetahuan,
kemampuan, dan keterampilan
Pertimbangan-pertimbangan
itulah yang barang kali perlu dikaji dan direnungkan ulang bagi subjek
pendidikan di Indonesia salah satunya dengan mengembangkan model pendidikan
multikultural. Yaitu pendidikan yang mampu mengakomodir sekian ribu perbedaan
dalam sebuah wadah yang harmonis, toleran, dan saling menghargai. Inilah yang
diharapkan menjadi salah satu pilar kedamaian, kesejahteraan, kebahagian, dan
keharmonisan kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan
pembelajaran mutikultural para lulusan akan dapat memiliki sikap kemandirian
dalam menyadari dan menyelesaikan segala problem kehidupannya, melalui berbagai
macam cara dan strategi pendidikan serta mengimplementasikanya yang mempunyai
visi dan misi yang selalu menegakan dan menghargai pluralisme, demokrasi dan
humanisme. Diharapkan para generasi penerus menjadi ”Generasi Multikultural”
yang menghargai perbedaan, selalu menegakan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan
kemanusiaan yang akan datang.
Dalam konteks
pendidikan, bahwa semua persoalan dalam masyarakat akan dapat diperbaiki
melalui proses pendidikan. Artinya kegagalan masyarakat adalah kegagalan
pendidikan dan sebaliknya. Dengan demikian, dalam mengatasi segala problematika
masyarakat sebaiknya dimulai dari penataan secara sistemik dan metodologis dalam pendidikan. Salah
satu komponen dalam pembelajaran adalah proses belajar mengajar (pembelajaran).
Untuk memperbaiki realitas masyarakat, perlu dimulai dari proses pembelajaran.
Multikultural bisa dibentuk melalui proses pembelajaran, yaitu dengan
menggunakan pembelajaran berbasis multikultural. Yaitu proses
pembelajaran yang lebih mengarah pada upaya menghargai perbedaan diantara
sesama manusia sehingga terwujud ketenangan dan ketentraman tatanan kehidupan
masyarakat.
Pendidikan multikultural dilaporkan
juga sangat efektif sebagai alat pengakomodasi „dominasi kekuasaan‟
salah satu etnik atau budaya. Mereka lebih menyukai proses akulturasi ganda (multiple acculturation)
ketimbang pluralisme budaya (cultural pluralism), karena dengan proses
akulturasi demikian maka konflik antar etnik dapat diperkecil. Tujuan
pendidikan dengan berbasis multikultural dapat diidentifikasi: (1) untuk memfungsikan
peranan sekolah dalam memandang keberadaan siswa yang beraneka ragam; (2) untuk
membantu siswa dalam membangun perlakuan yang positif terhadap perbedaan
kultural, ras, etnik, kelompok keagamaan; (3) memberikan ketahanan siswa dengan
cara mengajar mereka dalam mengambil keputusan dan keterampilan sosialnya; (4)
untuk membantu peserta didik dalam membangun ketergantungan lintas budaya dan
memberi gambaran positif kepada mereka mengenai perbedaan kelompok.
2.
Signifikansi Pendidikan Multikultural
Mengingat
bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak budaya, penerapan pembelajaran
multikultural sangat penting untuk meminimalisasi dan mencegah terjadinya
konflik di beberapa daerah. Pembelajaran multikultural bisa menanamkan
sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar tulus menghargai
keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan.
Rasional
tentang pentingnya pembelajaran/pendidikan multikultural, karena startegi
pendidikan ini dipandang memiliki keutamaan-keutamaan, terutama dalam:
1).
Memberikan terobosan baru
pembelajaran yang mampu meningkatkan empati dan mengurangi prasangka siswa atau
mahasiswa sehingga tercipta manusia (warga negara) antarbudaya yang mampu
menyelesaikan konflik dengan tanpa kekerasan (nonviolent);
2).
Menerapkan pendekatan dan
strategi pembelajaran yang potensial dalam mengedepankan proses interaksi
sosial dan memiliki kandungan afeksi yang kuat;
3).
Model pembelajaran
multikultural membantu guru dalam mengelola proses pembelajaran menjadi lebih
efisien dan efektif, terutama memberikan kemampuan peserta didik dalam
membangun kolaboratif dan memiliki komitmen nilai yang tinggi dalam kehidupan
masyarakat yang serba majemuk;
4).
Memberikan kontribusi bagi
bangsa Indonesia dalam penyelesaian dan mengelola konflik yang bernuansa SARA
yang timbul di masyarakat dengan cara meningkatkan empati dan mengurangi
prasangka.
Melalui
pembelajaran berbasis multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa
akan lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman. Hal ini penting
sebab dapat menghapuskan diskriminasi.
Ada
beberapa hal yang bisa didapat dari adanya pembelajaran multikultural, antara
lain:
a) Penerapan
pendidikan multikultural sangat penting untuk meminimalisasi dan mencegah
terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis
multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) siswa akan lebih terbuka untuk
memahami dan menghargai keberagaman.
b) Metodologi
dan strategi pembelajaran multikultural dengan menggunakan sarana audio visual
telah cukup menarik minat belajar anak serta sangat menyenangkan bagi siswa dan
guru. Karena, siswa secara sekaligus dapat mendengar, melihat, dan melakukan
praktik selama proses pembelajaran berlangsung. Hal ini menjelaskan bahwa
pembelajaran multikultural sangat baik untuk diterapkan dalam rangka
meningkatkan minat belajar siswa yang lebih tinggi.
c)
Guru-guru
dituntut kreatif dan inovatif sehingga mampu mengolah dan menciptakan desain
pembelajaran yang sesuai. Termasuk memberikan dan membangkitkan motivasi
belajar siswa, serta memperkenalkan dan mengembangkan nilai-nilai dan sikap
toleransi, solidaritas, empati, musyawarah, dan egaliter kepada sesama. Para
siswa pun bisa menjadi lebih memahami kearifan lokal yang menjadi bagian dari
budaya bangsa.
d)
Pendidikan
multikultural membantu siswa untuk mengakui ketepatan dari pandangan-pandangan
budaya yang beragam, membantu siswa dalam
e) mengembangkan
kebanggaan terhadap warisan budaya mereka, menyadarkan siswa bahwa konflik
nilai sering menjadi penyebab konflik antar kelompok masyarakat (Savage &
Armstrong, 1996).
f)
Pendidikan multikultural diselenggarakan dalam upaya mengembangkan
kemampuan siswa dalam memandang kehidupan dari berbagai perspektif budaya yang
berbeda dengan budaya yang mereka miliki, dan bersikap positif terhadap
perbedaan budaya, ras, dan etnis. (Farris & Cooper, 1994).
g) Dapat
membimbing, membentuk dan mengkondisikan siswa agar memiliki mental atau
karakteristik terbiasa hidup di tengah-tengah perbedaan yang sangat kompleks,
baik perbedaan ideologi, perbedaan sosial, perbedaan ekonomi dan perbedaan
agama. Dengan pembelajaran mutikultural para lulusan akan dapat memiliki sikap
kemandirian dalam menyadari dan menyelesaikan segala problem kehidupannya.
3.
Beberapa
keuntungan Pendidikan Multikultural
Pendidikan Multikultural merupakan
sebuah proses dimana seseorang mengembangkan kompetensi dalam beberapa sistem
standard untuk mempersepsi, meyakini, dan melakukan tindakan. Beberapa
keuntungan dengan pendekatan pendidikan multicultural adalah:
Pertama, kita tidak lagi terbatas dengan pandangan yang
menyamakan pendidikan (education) dengan persekolahan (schooling)
atau pendidikan multicultural dengan program-program sekolah formal. Pandangan
yang lebih luas mengenai pendidikan sebagai transmisi kebudaayan akan membebaskan pendidikan
dari asumsi mereka bahwa tanggungjawab primer mengembangkan kompetensi
kebudayaan dikalangan anak didik semata-mata berada ditangan mereka, melainkan
tanggungjawab semua pihak karena program-program sekolah seharusnya terkait
dengan pembelajaran informal dan luar sekolah.
Kedua, kita tidak lagi terbatas pada pandangan yang menyamakan
kebudayaan dengan kelompok etnik. Artinya, kita tidak perlu mengasosiasikan
kebudayaan sematamata dengan kelompok-kelompok etnik. Secara tradisional, para
pendidik mengasosiasikan kebudayaan hanya dengan kelompok-kelompok sosial
yang relatif self sufficient. Oleh karena individu-individu atau peserta
didk memiliki berbagai tingkat kompetensi dalam berbagai dialek atau bahasa,
dan berbagai pemahaman mengenai situasi-situasi dimana setiap pemahaman
tersebut sesuai, maka individu-individu memilki berbagai tingkat kompetensi dalam
sejumlah kebudayaan. Dalam konteks pendidikan multicultural, apabila pendekatan
ini dipahami dan diadopsi oleh para penyusun program-program pendidikan
multicultural, akan melenyapkan kecenderungan memandang anak didik secara
stereotype menurut identitas etnik mereka akan meningkatkan eksplorasi
pemahaman yang lebih besar mengenai kesamaan dan perbedaan dikalangan anak
didik dari berbagai kelompok etnik.
Ketiga,
karena pengembangan kompetensi dalam suatu kebudayaan baru biasanya membutuhkan
interaksi intensif dengan orang-orang yang sudah memiliki kompetensi, kita
bahkan dapat melihat lebih jelas bahwa upaya-upaya untuk mendukung sekolah-sekolah yang terpisah secara
etnik adalah antitesis terhadap tujuan pendidikan multicultural. Mempertahankan
dan memperluas solidaritas kelompok etnik adalah menghambat sosialisasi ke
dalam kebudayaan baru. Pendidikan bagi pluralisme budaya dan pendidikan
multicultural tidak dapat disamakan secara logis.
Keempat,
pendidikan multikultural meningkatkan kompetensi dalam beberapa kebudayaan.
Kebudayaan mana yang akan diadopsi seseorang pada suatu waktu ditentukan oleh
situasinya. Meski jelas berkaitan, kita harus membedakan secara konseptual
antara identitas-identitas yang disandang individu dan identitas sosial primer
dalam kelompok etnik tertentu.
Kelima,
kemungkinan bahwa pendidikan (baik di sekolah maupun di luar sekolah)
meningkatkan kesadaran mengenai kompetensi dalam beberapa kebudayaan akan
menjauhkan kita dar konsep dwi-budaya (bicultural) atau dikotomi antara
pribumi dan non-pribumi. Karena dikotomi semacam ini bersifat membatasi
kebebasan individu untuk sepenuhnya mengekspresikan diversitas (perbedaan)
kebudayan.
Pendidikan multikultural bertujuan
untuk membedah kesadaran individu akan “multikulturalisme sebagai pengalaman
normal manusia”. Kesadaran ini mengandung potensi pendidikan multikultural
untuk menghindari dikotomi dan mengembangkan apresiasi yang lebih baik melalui
kompetensi kebudayaan yang ada pada anak didik.
4.
Pendidikan
Multikultural
Tahun 1980-an
agaknya yang dianggap sebagai kemunculan lembaga sekolah yang berlandaskan
pendidikan multikultural yang didirikan oleh para peneliti dan aktivis pendidikan progresif.
James Bank adalah salah seorang pioner dari pendidikan multikultural. Dia yang
membumikan konsep pendidikan multikultural menjadi ide persamaan pendidikan.
Pada pertengahan dan akhir 1980-an, muncul kelompok sarjana, di antaranya Carl
Grant, Christine Sleeter, Geneva Gay dan Sonia Nieto yang memberikan wawasan
lebih luas soal pendidikan multikultural, memperdalam kerangka kerja yang
membumikan ide persamaan pendidikan dan menghubungkannya dengan transformasi
dan perubahan sosial.
Didorong oleh tuntutan warga Amerika
keturunan Afrika, Latin/Hispanic, warga pribumi dan kelompok marjinal lain
terhadap persamaan kesempatan pendidikan serta didorong oleh usaha komunitas
pendidikan profesional untuk memberikan solusi terhadap masalah pertentangan
ras dan rendahnya prestasi kaum minoritas di sekolah menjadikan pendidikan
multikultural sebagai slogan yang sangat populer pada tahun 1990-an. Selama dua
dekade konsep pendidikan multikultural menjadi slogan yang sangat populer di
sekolah-sekolah AS. Secara umum, konsep ini diterima sebagai strategi penting
dalam mengembangkan toleransi dan sensitivitas terhadap sejarah dan budaya dari
kelompok etnis yang beraneka macam di negara ini.
Ide pendidikan multikulturalisme
akhirnya menjadi komitmen global sebagaimana direkomendasi. Secara sederhana
pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai “pendidikann untuk/tentang
keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan cultural
lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan”. Agar
definisi ini bermanfaat, perlu mendefinisikan kembali apa yang dimaksud dengan
“budaya” dan “kebudayaan”. Upaya perumusan ini jelas tidak mudah, karena
perubahan-perubahan yang begitu cepat dan dramatis dalam kebudayaan itu
sendiri, khususnya karena proses globalisasi yang semakin meningkat.
Menurut Tilaar, pendidikan
multikultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang
“inter-kulturalisme” seusai Perang Dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini selain
terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial
dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralitas di negara-negara Barat
sendiri sebagai akibat peningkatan migrasi dari negara-negara yang baru merdeka
ke Amerika dan Eropa.
Mempertimbangkan
semua perkembangan ini, pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an di Amerika Serikat
berkembang konsep pendidikan “intercultural” dan “interkelompok” (intercultural
and intergroup education). Pada dasarnya pendidikan interkultural merupakan
cross-cultural education yang bertujuan mengembangkan nilainilai universal
yang dapat diterima berbagai kelompok masyarakat berbeda. UNESCO pada bulan Oktober 1994 di Jenewa. Rekomendasi itu
di antaranya memuat empat pesan. Pertama, pendidikan hendaknya mengembangkan
kemampuan untuk mengakui dan menerima nilai-nilai yang ada dalam kebhinnekaan
pribadi, jenis kelamin, masyarakat dan budaya serta mengembangkan kemampuan
untuk berkomunikasi, berbagi dan bekerja sama dengan yang lain. Kedua,
pendidikan hendaknya meneguhkan jati diri dan mendorong konvergensi gagasan dan
penyelesaianpenyelesaian yang memperkokoh perdamaian, persaudaraan dan
solidaritas antara pribadi dan masyarakat. Ketiga, pendidikan hendaknya
meningkatkan kemampuan menyelesaikan konflik secara damai dan tanpa kekerasan.
Karena itu,
pendidikan hendaknya juga meningkatkan pengembangan kedamaian dalam diri diri
pikiran peserta didik sehingga dengan demikian mereka mampu membangun secara
lebih kokoh kualitas toleransi, kesabaran, kemauan untuk berbagi dan
memelihara. Konsep pendidikan
multikultural dalam perjalanannya menyebar luas ke kawasan di luar AS,
khususnya di negara-negara yang memiliki keragaman etnis, ras, agama dan budaya
seperti Indonesia. Sekarang ini, pendidikan multikultural secara umum mencakup
ide pluralisme budaya. Tema umum yang dibahas meliputi pemahaman budaya,
penghargaan budaya dari kelompok yang beragam dan persiapan untuk hidup dalam
masyarakat pluralistik.
Pada konteks Indonesia, perbincangan
tentang konsep pendidikan multikultural semakin memperoleh momentum pasca
runtuhnya rezim otoriter-militeristik Orde Baru karena hempasan badai reformasi. Era reformasi ternyata tidak
hanya membawa berkah bagi bangsa kita namun juga memberi peluang meningkatnya
kecenderungan primordialisme. Untuk
itu, dirasakan kita perlu menerapkan paradigma pendidikan multikultur untuk
menangkal semangat primordialisme tersebut.
Secara generik,
pendidikan multikultural memang sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk
menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbeda-beda
ras, etnis, kelas sosial dan kelompok budaya. Salah satu tujuan penting dari
konsep pendidikan multikultural adalah untuk membantu semua siswa agar
memperoleh pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang diperlukan dalam menjalankan
peran-peran seefektif mungkin pada masyarakat demokrasi-pluralistik serta
diperlukan untuk berinteraksi, negosiasi, dan komunikasi dengan warga dari
kelompok beragam agar tercipta sebuah tatanan masyarakat bermoral yang berjalan
untuk kebaikan bersama.
Pendidikan multikultural (multicultural
education) adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan
toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural,
diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan
konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak. Jika
kita menengok sejarah Indonesia, maka realitas konflik sosial yang terjadi
sering kali mengambil bentuk kekerasan sehingga mengancam persatuan dan
eksistensi bangsa. Pengalaman peperangan antara kerajaan-kerajaan sebelum
kemerdekaan telah membentuk fanatisme kesukuan yang kuat. Sedangkan, terjadinya
konflik sosial setelah kemerdekaan, sering kali bertendensi politik, dan ujungnya
adalah keinginan suatu komunitas untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), bahkan buntutnya masih terasa hingga sekarang, baik
yang terjadi di Nangroe Aceh Darussalam dan Papua. Tanpa pendidikan
multikultural, maka konflik sosial yang destruktif akan terus menjadi suatu
ancaman yang serius bagi keutuhan dan persatuan bangsa. Pendidikan
multikultural sangat penting diterapkan guna meminimalisasi dan mencegah
terjadinya konflik di beberapa daerah. Melalui pendidikan berbasis
multikultural, sikap dan mindset (pemikiran) pelajar/mahasiswa akan
lebih terbuka untuk memahami dan menghargai keberagaman.
Dengan
pengembangan model pendidikan berbasis multicultural, diharapkan mampu menjadi
salah satu metode efektif meredam konflik. Selain itu, pendidikan multikultural
bisa menanamkan sekaligus mengubah pemikiran peserta didik untuk benar-benar
tulus menghargai keberagaman etnis, agama, ras, dan antargolongan. Tak hanya
itu, pendidikan multikultural juga mencakup revisi materi-materi dan sistem
pembelajaran, seleksi penerimaan siswa, rekrutmen guru, termasuk revisi
buku-buku dan teks-teks soal Ujian Nasional (UN). Halaman 192. Misalnya,
pelaksanaan UN selama ini terus menjadi perdebatan dan menimbulkan pro-kontra,
sejak keluarnya SK No 153/U/2003 tentang UAN. Mulai teknis pelaksanaan hingga
keputusan pemerintah tentang pelulusan terhadap siswa. Secara yuridis,
pelanggaran terhadap UU No. 20 tahun 2003. Pada pasal 58 ayat (1), misalnya,
semestinya UAN menjadi tolok ukur, kontrol, alat evaluasi tingkat kemampuan
peserta didik dan penyerapan terhadap materi. UU lahir, oleh pemerintah malah
dibelokkan menjadi alat untuk menentukan tingkat kelulusan siswa. Secara tidak
langsung pemerintah masih berkeinginan menyeratakan dan tidak mendukung adanya
paradigma atau pijakan pendidikan multikultural.
Dalam konteks Indonesia, pendidikan
multikultural menemukan momentumnya ketika rezim pemerintahan Soeharto yang
otoritarian tumbang. Di masa awal reformasi, berbagai konflik antar etnik dan golongan menciptakan kejutan dan kengerian
masyarakat, secara umum. Konflik berdarah di Poso, Sampit, hingga Papua
merupakan catatan buram sejarah Indonesia. Hal ini membuat kalangan intelektual
pendidikan di Indonesia mempertanyakan kembali sistem pendidikan nasional bagi
Indonesia Perlukah ada perubahan? Atau sistem pendidikan yang bagaimana yang
bisa meminimalisasi potensi konflik.
Parsudi Suparlan (2001) mengatakan
bahwa multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan
zaman karena multikulturalisme adalah sebuah
ideologi yang mengagungkan perbedaaan kultur, atau sebuah keyakinan yang
mengakui pluralisme kultur sebagai corak kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme akan menjadi jembatan yang mengakomodasi perbedaan etnik dan
budaya dalam masyarakat yang plural. Perbedaan itu dapat terakomodasi dalam
berbagai dimensi kehidupan, seperti dunia kerja, pasar, hukum, ekonomi, sosial,
dan politik.
5. Kurikulum Pendidikan Multikultural
Agar pendidikan lebih multikultural, maka kurikulum, model
pembelajaran, suasana sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan peran guru harus
dibuat multikultural. Isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai
perbedaan dan tidak diskriminatif. Isi dan bahan ajar di sekolah perlu dipilih
yang sungguh menekankan pengenalan dan penghargaan terhadap budaya dan nilai
lain. Suasana sekolah amat penting dalam penanaman nilai multibudaya. Sekolah
harus dibangun dengan suasana yang menunjang penghargaan budaya lain. Relasi
guru, karyawan, siswa yang berbeda budaya diatur dengan baik, ada saling
penghargaan. Anak dari kelompok lain tidak ditolak tetapi dihargai.
Kegiatan
ekstrakurikuler hendaknya juga multinilai. Sikap menghargai orang yang berbeda
dari budaya lain akan lebih berkembang bila siswa mempraktikkan dan mengalami
sendiri. Maka, model live-in, tinggal di tengah orang yang berbudaya
lain, amat dapat membantu siswa menghargai "budaya lain". Misalnya
siswa dari Bali ikut live-in satu minggu di tengah orang Sunda. Bila
mereka mengalami bahwa di situ diterima dengan baik, mereka akan dibantu lebih
penghargai budaya Sunda. Proyek dan kepanitiaan di sekolah baik juga diatur
dengan lebih variasi dan beragam. Setiap panitia terdiri dari aneka macam siswa
dari berbagai suku, ras, agama, budaya, dan jender. Ini akan lebih menumbuhkan
semangat kesatuan dalam perbedaan yang ada.
Kurikulum yang diperlukan dalam
pendidikan multicultural mempunyai tiga komponen utama; yaitu isi, metode, dan
manusia. Isi mencakup ilmu pengetahuan, teori, konsep, fakta,
kontribusi, dan perspektif dari kelompok yang berbeda suku, etnisitas, gender,
bahasa, kelas sosial, agama, orientasi seksual, cacat dan tidak cacat,
kepercayaan politik dan sebagainya yang secara historis tidak terpresentasikan
dalam ranah pendidikan. Metode, mencakup strategi pembelajaran yang
mengakomodasi gaya pengajaran dan pembelajaran yang berbeda,
kebijakan-kebijakan akademik yang mendukung rekrutmen, mentoring, memori siswa
multikultural, pengajar, populasi staff, dan proses kurikulum yang mendorong
eksplorasi, pengembangan, dan implementasi kurikulum multikultural. Manusia,
menyangkut sisiwa multikultural, pengajar, dan populasi staff yang mendukung
dan mengembangkan implementasi kurikulum multikultural melalui metode yang telah
digunakan. Walaupun begitu, perumusan dan implementasi pendidikan multikultural
di Indonesia masih memerlukan pembahasan serius dan khusus. Hal ini bukan hanya
karena menyangkut masalah isi pendidikan multikultural itu sendiri, tetapi juga
mengenai strategi yang akan ditempuh; apakah misalnya dalam bentuk mata
pelajaran terpisah, berdiri sendiri (separated), atau sebaliknya
“terpadu” atau terintegrasi (integrated). Terlepas dari berbagai isu dan
masalah ini, yang jelas perkembangan Indonesia sekarang kelihatannya
membutuhkan pendidikan multikultural, yang diharapkan dapat memberikan
kontribusi penting bagi pembentukan “keikaan” di tengah “kebhinnekaan” yang
betul-betul aktual; tidak hanya sekedar slogan dan jargon. Termasuk juga, pengelolaan masyarakat multi-kultural
Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial and error.
Sebaliknya harus diupayakan secara sitematis, programatis, integrated,
dan berkesinambungan. Langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah
melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga
pendidikan, baik formal maupun nonformal dan bahkan informal dalam masyarakat
luas. BERJUANG MEMBANGUN NEGERI
6.
Daftar Pustaka
Banks, J. 1993. Multicultural Education: Historical
Development, Dimension, and Practice. Review of Research in
Education.
Burnett. 1994. Varieties of Multicultural Education:
An Introduction. Eric Clearinghouse on Urban Education: Digest.
Kuper, Adam & Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedi
Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Naim, Ngainun dan Achmad Sauqi. 2008. Pendidikan
Multikultural: Konsep dan Aplikasi.
Jokjakarta: Ar-Ruzz Media.
Suseno, Frans Magnis. 2000. “Pendidikan Pluralisme”
dalam Suara Pembaharuan.
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan: Suatu
Tinjauan dari Perspektif Kultural. Magelang: Indonesia Tera.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wuryanano. 2011. Mengapa Doa Saya Selalu Dikabulkan.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural:
Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar
Media.